Tepat pukul 8.00, saya sudah berada di sekolah. Setiba di
sekolah, saya ditemani kepala sekolah dan terus mendapatkan informasi
‘’mengerikan’’ tentang kondisi siswa di sekolah tersebut. “kami, para guru,
sudah habis-habisan, namun hasilnya masih tidak seberapa. Kami tidak tahu
dengan cara apa lagi.” Keluh kepala sekolah. Beberapa guru yang juga menyertai,
lalu mengucapkan beberapa nama yang termasuk “biang kerok” kelas tersebut.
Setelah menaiki lantai dua, akhirnya saya tepat berdiri di
depan pintu kelas “panas” tersebut. Dengan mengucapkan bismillah, saya masuk
kelas sembari membuang semua gambaran
negative tentang siswa kelas itu. Saya membayangkan, semua siswa baik dan dapat diajak kerjasama, tidak ada siswa yang
nakal, kurang ajar, serta semua siswa tersebut pasti akan mau menjadi sahabat
saya, mereka dengan rela mau mengikuti pelajaran, sehingga target materi
tuntas. Saya melakukan POSITIF TINKING
di depan kelas.
Dan benar, di depan kelas, saya menatap wajah mereka satu per
satu. Luar biasa, saya melihat wajah-wajah siswa yang haus akan ilmu
pengetahuan. Wajah-wajah yang haus sentuhan pengajaran manusiawi. Saya
memperkenalkan diri dan meminta semua siswa juga mengenalkan diri masing-masing.
“saya ingin kalian tidak hanya sekedar menyebutkan nama,
teriakan satu kata profesi yang kalian inginkan kelak. Yang dengan profesi itu,
kalian berharap menjadi manusia sukses, seperti harapan orang tua kalian. Ayo,
teriakkan sebuah profesi, meskipun ini impian, jangan malu!” ajak saya dengan
atusias. Lalu satu persatu mereka berdiri menyebutkan nama dan profesi.
“saya Nasyirudin, ingin menjadi pembalap moto-cros”.
Ada enam siswa yang ingin menjadi pemain bola professional.
Saya langsung mendo’akan mereka, “semoga piala dunia 2018 nanti, kalian semua
yang menjadi pemain yang membawa harum nama Indonesia di Piala Dunia.” Serentak
mereka menjawab, “Aamiin!”
Wow, Alhamdulillah! Saat itu, saya merasa menit-menit awal
sudah berhasil mengambil hati anak-anak “unik” ini. Saya tambah bersemangat
siswa-siswa tersebut tenggelam dalam profesi masa depannya. “aku ingin jadi
dokter”, “aku ingin jadi penulis”, dan lain-lain. Akhirnya, tidak ada satupun siswa yang diam. Satu hal yang
penting, anak-anak yang dikatakan “nakal” ini ternyata punya mimpi dan punya
harapan, berarti mereka punya motivasi untuk belajar.
Lalu saya melakukan pre-teach, dengan mengatakan “adik-adik,
tiga puluh menit ke depan kita akan berdiskusi. Untuk itu, saya membutuhkan
seorang notulis dan moderator. Kalian akan dibagi menjadi empat kelompok,
terserah terbagi atas dasar apa, pokoknya ada unsur persamaannya. Saya sendiri
sebagai moderator, sedangkan untuk notulis, saya minta salah satu dari kalian
yang tulisannya bagus.”
Langsung Nasyirudin angkat tangan, dia siap menjadi notulis.
Saya meminta seisi kelas memberi tepuk tangan kepada Nasyirudin.
“nasyirudin, keberhasilan pelajaran itu tujuh puluh lima
persen bergantung pada kelihaian kamu merangkum proses dan hasil diskusi ini.”
Saya menegaskan.
“siap, pak!” Jawab Nasyirudin dengan semangat sembari
menyiapkan buku tulis dan pulpennya.
“hanya sepuluh detik, waktu kalian hanya sepuluh detik untuk
membentuk empat kelompok. Satu, dua, tiga!” perintah saya setengah berteriak,
maklum sudah kadung terbakar.
Seketika kelas menjadi rebut tepat sepuluh detik mereka sudah
terbagi menjadi empat kelompok dengan empat nama yang dibuat oleh mereka
sendiri. Saya tambah yakin, kehadiran saya benar-benar diterima oleh mereka.
Selanjutnya, saya minta setiap siswa membuka halaman kosong
di buku tulis masing-masing. Lalu, saya minta mereka menuliskan satu nama guru
mereka yang selama ini dianggap negative (guru tersebut tidak menyenangkan,
sering menyakitkan hati, atau hal lain, pokoknya yang negative.”tulis satu nama
guru kalian tepat tengah kertas. Lalu, di sampingnya beri tanda tanya besar,
kemudian tutup buku kalian. Nanti di akhir pelajaran, kita akan buka kembali,”
kata saya.
Mereka berpikir sejenak. Ada yang tersenyum, saling menoleh
kepada teman-temannya. Ada yang geleng-geleng kepala. Saya merasa ada
penghalang dan saya tahu itu. Mereka tidak enak kepada guru merekayang sedang
duduk di belakang kelas. Langsung saya berkata, “adik-adik, jika guru tersebut
ada di belakang kita, tidak apa-apa. Tulis saja, lalu tutup. Tidak akan pernah
ada yang tahu (kecuali diri sendiri, tuhan dan malaikat).”
Rupanya kata-kata saya menjadi menenang bagi para siswa. Tak
lama kemudian, mereka semua selesai menulis satu nama guru di buku
masing-masing, meskipun menuliskannya dengan berat hati.
Saya memulai diskusi dengan melemparkan sebuah masalah kepada
semua kelompok. Masalahnya tentang penyebab kebanyakan siswa yang tidak suka
kepada guru sehingga mereka tidak menghormati guru, “apa saja penyebabnya?”
Tanya saya. “waktu kalian hanya lima menit, diskusikan apa saja penyebabnya.
Lalu, wakil perkelompok maju untuk presentasi.”
Luar biasa, belum lima menit mereka sudah dapat menyelesaikan
masalah pertama. Yang membuat saya dan teman-teman guru terhenyak adalah
presentasi setiap kelompok.
“yang membuat guru tidak menyenangkan adalah sering
memerintahkan untuk mencatat terus sampai tangan saya capai.”
“sering marah tanpa sebab.”
“tidak boleh ke toilet.”
“crewet.”
“sering memberi tugas berat.”
“kalau ada siswa yang berkelahi, malah diadukan.”
Saya tahu, suasana kelas tiba-tiba menjadi tegang. Betapa
tidak, di belakang terdapat guru-guru mereka. Kelas tersebut telah menjadi
ajang curahan hati para siswa. Untuk mencairkan suasana, saya meminta semua
bertepuk tangan. Masalah pertama telah selesai dan sinotulis dengan giat terus
menuliskannya.
Kemudian, saya menantang mereka dengan masalah kedua. “coba
diskusikan lagi maslah kedua. Apa yang harus kalian ususlkan kepada para guru
agar maslah pertama tidak terjadi, sehingga hubungan antara siswa dan guru
menjadi harmonis?”
Kembali kelas ramai berdiskusi dan mereka kembali melakukan
presentasi yang luar biasa. Perhatikan, apa sebenarnya yang diinginkan para
siswa kelas “terheboh” itu?
“mestinya kami lebih banyak diperhatikan oleh guru.”
“mestinya kami sering diajak bicara oleh guru.”
“mestinya kami sering diajak membuat
kesepakatan-kesepakatan,”
“mestinya guru harus percaya kepada kami. Tanpa mencatat
berlembar-lembar, kami mau belajar.”
Dan klimaksnya, terlontar pernyataan, “mestinya kami smakan dengan
anak yang lain. Tidak di cap nakal.”
Saya langsung meminta mereka serius dalam menjawab pertanyaan
pamungkas, “jika keinginan kalian dipenuhi, apakah di kelas ini akan terjadi
keadaan yang harmonis antara guru dan kalian? Apakah kalian mau dnegan rela
dengan ikhlas memandang guru kalian seperti orangtua kalian yang layak di
hormati?”
Serempak mereka menjawab, “mau!” dan mengangguk.
Kemudian saya menuliskan di papan tulis untuk di salin oleh
siswa di buku tulis masing-masing. Saya menggunakan metode mind-map untuk
mencatat. Saya tulis di tengah-tengah menghormati
guru. Lalu saya Tarik ke atas dengan frasa arti hormat (what), garis menyamping disertai dengan frasa mengapa guru dihormat (why), dan garis
ke bawah disertai frasa selanjutnya
bagaimana (why next). Pada frasa arti hormat, saya Tarik garis cabang, yang
disertai dengan frasa, “kerjasama”, “saling percaya”, “memberikan respon
positif”, “tanggung jawab”, dan “bicara yang santun”. Sedangkan pada mengapa
guru dihormati, saya menarik cabang-cabang yang disertai tulisan : “merekalah
pemberi ilmu”, “pengubah prilaku negative”, “pengajar cara berpikir”, “sumber
profesi”, dan “menyelamatkan dunia dan akhirat.” Puncaknya, pada frasa
selanjutnya bagaimana dengan tegas saya tulis :”harus mengikuti pelajaran”,
“menyelesaikan target-target belajar”, “berterima kasih kepada guru”, dan
“memohon maaf secepatnya jika punya kesalahan.”
Dengan antusias, semua siswa mencatat mind-map di buku
tulisnya. Ada yang berbeda dari biasanya. Mereka menulis dengan posisi landscape
dan memulai tulisan dari tengah. Saya menentang siswa agar nanti malam menyalin
kembali catatan ke dalam kertas gambar berukuran A3 dengan diberi warna warni.
Setelah selesai mencatat, saya bertanya, “apakah kalian enang mencatat dengan
cara seperti ini? Capai nggak?”
“asyikkk, gak capai….!” Jawab mereka serempak.
Lalu saya minta mereka membuka kembali kertas yang berisi
nama guru yang tidak disukai, yang telah mereka tulis di awal belajar. Kembali
saya meletupkan emosi mereka.
“Coba adik-adik, bayangkan wajah guru yang kalian tulis. Ada
tanda Tanya di sana. Apa maksudnya? Tidak lain adalah pertanyaan yang harus
kalian jawab dengan hati kecil kalian. Apa benar mereka cerewet? Apa benar
mereka galak? Sehingga tidak kalian sukai atau bahkan membencinya. Apa benar?
Coba jawab dengan nurani kalian. Kalian tahu, merekalah yang akan menyelamatkan
dunia akherat kalian. Merekalah yang berusaha agar cita-cita kalian terwujud.
Ada yang ingin menjadi pemain bola, dokter, pelaut dan bahkan pembalap. Apa
kalian sadar, dari guru yang namanya kalian tulis itulah keinginan kalian akan
mulai terwujud? Lalu, apa pantas kalian sekarang mengatakan mereka tidak
menyenangkan? Ayo, yang merasa masih punya hati, silahkan berdiri, bangkit,
temui guru yang kalian tulis tersebut. Ucapkan permohonan maaf yang benar-benar
dari hati. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Ayo, berdiri, cari guru kalian!”
Selanjutnya, ada iar mata yang mengucur antara guru dan
siswa. Alhamdulillah., saya ucapka ke hadirat Alloh SWT. Saya berhasil menutup
empat puluh menit pembelajaran dengan cantik. Siswa memahami pengertian tentang
sikap menghormati, mengapa guru harus dihormati, dan bagaimana cara siswa
menghormati guru dalam kehidupan sehari-hari.
Dikutip dari : Gurunya Manusia, Munif Chatib, hal 139-143
Tidak ada komentar:
Posting Komentar