Rabu, 07 Oktober 2015

Empat Puluh Menit di Kelas Ternakal-Strategi Diskusi

Tepat pukul 8.00, saya sudah berada di sekolah. Setiba di sekolah, saya ditemani kepala sekolah dan terus mendapatkan informasi ‘’mengerikan’’ tentang kondisi siswa di sekolah tersebut. “kami, para guru, sudah habis-habisan, namun hasilnya masih tidak seberapa. Kami tidak tahu dengan cara apa lagi.” Keluh kepala sekolah. Beberapa guru yang juga menyertai, lalu mengucapkan beberapa nama yang termasuk “biang kerok” kelas tersebut.
Setelah menaiki lantai dua, akhirnya saya tepat berdiri di depan pintu kelas “panas” tersebut. Dengan mengucapkan bismillah, saya masuk kelas sembari membuang semua gambaran negative tentang siswa kelas itu. Saya membayangkan, semua siswa baik dan dapat diajak kerjasama, tidak ada siswa yang nakal, kurang ajar, serta semua siswa tersebut pasti akan mau menjadi sahabat saya, mereka dengan rela mau mengikuti pelajaran, sehingga target materi tuntas. Saya melakukan POSITIF TINKING di depan kelas.
Dan benar, di depan kelas, saya menatap wajah mereka satu per satu. Luar biasa, saya melihat wajah-wajah siswa yang haus akan ilmu pengetahuan. Wajah-wajah yang haus sentuhan pengajaran manusiawi. Saya memperkenalkan diri dan meminta semua siswa juga mengenalkan diri masing-masing.
“saya ingin kalian tidak hanya sekedar menyebutkan nama, teriakan satu kata profesi yang kalian inginkan kelak. Yang dengan profesi itu, kalian berharap menjadi manusia sukses, seperti harapan orang tua kalian. Ayo, teriakkan sebuah profesi, meskipun ini impian, jangan malu!” ajak saya dengan atusias. Lalu satu persatu mereka berdiri menyebutkan nama dan profesi.
“saya Nasyirudin, ingin menjadi pembalap moto-cros”.
Ada enam siswa yang ingin menjadi pemain bola professional. Saya langsung mendo’akan mereka, “semoga piala dunia 2018 nanti, kalian semua yang menjadi pemain yang membawa harum nama Indonesia di Piala Dunia.” Serentak mereka menjawab, “Aamiin!”
Wow, Alhamdulillah! Saat itu, saya merasa menit-menit awal sudah berhasil mengambil hati anak-anak “unik” ini. Saya tambah bersemangat siswa-siswa tersebut tenggelam dalam profesi masa depannya. “aku ingin jadi dokter”, “aku ingin jadi penulis”, dan lain-lain. Akhirnya, tidak  ada satupun siswa yang diam. Satu hal yang penting, anak-anak yang dikatakan “nakal” ini ternyata punya mimpi dan punya harapan, berarti mereka punya motivasi untuk belajar.
Lalu saya melakukan pre-teach, dengan mengatakan “adik-adik, tiga puluh menit ke depan kita akan berdiskusi. Untuk itu, saya membutuhkan seorang notulis dan moderator. Kalian akan dibagi menjadi empat kelompok, terserah terbagi atas dasar apa, pokoknya ada unsur persamaannya. Saya sendiri sebagai moderator, sedangkan untuk notulis, saya minta salah satu dari kalian yang tulisannya bagus.”
Langsung Nasyirudin angkat tangan, dia siap menjadi notulis. Saya meminta seisi kelas memberi tepuk tangan kepada Nasyirudin.
“nasyirudin, keberhasilan pelajaran itu tujuh puluh lima persen bergantung pada kelihaian kamu merangkum proses dan hasil diskusi ini.” Saya menegaskan.
“siap, pak!” Jawab Nasyirudin dengan semangat sembari menyiapkan buku tulis dan pulpennya.
“hanya sepuluh detik, waktu kalian hanya sepuluh detik untuk membentuk empat kelompok. Satu, dua, tiga!” perintah saya setengah berteriak, maklum sudah kadung terbakar.
Seketika kelas menjadi rebut tepat sepuluh detik mereka sudah terbagi menjadi empat kelompok dengan empat nama yang dibuat oleh mereka sendiri. Saya tambah yakin, kehadiran saya benar-benar diterima oleh mereka.
Selanjutnya, saya minta setiap siswa membuka halaman kosong di buku tulis masing-masing. Lalu, saya minta mereka menuliskan satu nama guru mereka yang selama ini dianggap negative (guru tersebut tidak menyenangkan, sering menyakitkan hati, atau hal lain, pokoknya yang negative.”tulis satu nama guru kalian tepat tengah kertas. Lalu, di sampingnya beri tanda tanya besar, kemudian tutup buku kalian. Nanti di akhir pelajaran, kita akan buka kembali,” kata saya.
Mereka berpikir sejenak. Ada yang tersenyum, saling menoleh kepada teman-temannya. Ada yang geleng-geleng kepala. Saya merasa ada penghalang dan saya tahu itu. Mereka tidak enak kepada guru merekayang sedang duduk di belakang kelas. Langsung saya berkata, “adik-adik, jika guru tersebut ada di belakang kita, tidak apa-apa. Tulis saja, lalu tutup. Tidak akan pernah ada yang tahu (kecuali diri sendiri, tuhan dan malaikat).”
Rupanya kata-kata saya menjadi menenang bagi para siswa. Tak lama kemudian, mereka semua selesai menulis satu nama guru di buku masing-masing, meskipun menuliskannya dengan berat hati.
Saya memulai diskusi dengan melemparkan sebuah masalah kepada semua kelompok. Masalahnya tentang penyebab kebanyakan siswa yang tidak suka kepada guru sehingga mereka tidak menghormati guru, “apa saja penyebabnya?” Tanya saya. “waktu kalian hanya lima menit, diskusikan apa saja penyebabnya. Lalu, wakil perkelompok maju untuk presentasi.”
Luar biasa, belum lima menit mereka sudah dapat menyelesaikan masalah pertama. Yang membuat saya dan teman-teman guru terhenyak adalah presentasi setiap kelompok.
“yang membuat guru tidak menyenangkan adalah sering memerintahkan untuk mencatat terus sampai tangan saya capai.”
“sering marah tanpa sebab.”
“tidak boleh ke toilet.”
“crewet.”
“sering memberi tugas berat.”
“kalau ada siswa yang berkelahi, malah diadukan.”
Saya tahu, suasana kelas tiba-tiba menjadi tegang. Betapa tidak, di belakang terdapat guru-guru mereka. Kelas tersebut telah menjadi ajang curahan hati para siswa. Untuk mencairkan suasana, saya meminta semua bertepuk tangan. Masalah pertama telah selesai dan sinotulis dengan giat terus menuliskannya.
Kemudian, saya menantang mereka dengan masalah kedua. “coba diskusikan lagi maslah kedua. Apa yang harus kalian ususlkan kepada para guru agar maslah pertama tidak terjadi, sehingga hubungan antara siswa dan guru menjadi harmonis?”
Kembali kelas ramai berdiskusi dan mereka kembali melakukan presentasi yang luar biasa. Perhatikan, apa sebenarnya yang diinginkan para siswa kelas “terheboh” itu?
“mestinya kami lebih banyak diperhatikan oleh guru.”
“mestinya kami sering diajak bicara oleh guru.”
“mestinya kami sering diajak membuat kesepakatan-kesepakatan,”
“mestinya guru harus percaya kepada kami. Tanpa mencatat berlembar-lembar, kami mau belajar.”
Dan klimaksnya, terlontar pernyataan, “mestinya kami smakan dengan anak yang lain. Tidak di cap nakal.”
Saya langsung meminta mereka serius dalam menjawab pertanyaan pamungkas, “jika keinginan kalian dipenuhi, apakah di kelas ini akan terjadi keadaan yang harmonis antara guru dan kalian? Apakah kalian mau dnegan rela dengan ikhlas memandang guru kalian seperti orangtua kalian yang layak di hormati?”
Serempak mereka menjawab, “mau!” dan mengangguk.
Kemudian saya menuliskan di papan tulis untuk di salin oleh siswa di buku tulis masing-masing. Saya menggunakan metode mind-map untuk mencatat. Saya tulis di tengah-tengah menghormati guru. Lalu saya Tarik ke atas dengan frasa arti hormat (what), garis menyamping disertai dengan frasa mengapa guru dihormat (why), dan garis ke bawah disertai frasa selanjutnya bagaimana (why next). Pada frasa arti hormat, saya Tarik garis cabang, yang disertai dengan frasa, “kerjasama”, “saling percaya”, “memberikan respon positif”, “tanggung jawab”, dan “bicara yang santun”. Sedangkan pada mengapa guru dihormati, saya menarik cabang-cabang yang disertai tulisan : “merekalah pemberi ilmu”, “pengubah prilaku negative”, “pengajar cara berpikir”, “sumber profesi”, dan “menyelamatkan dunia dan akhirat.” Puncaknya, pada frasa selanjutnya bagaimana dengan tegas saya tulis :”harus mengikuti pelajaran”, “menyelesaikan target-target belajar”, “berterima kasih kepada guru”, dan “memohon maaf secepatnya jika punya kesalahan.”
Dengan antusias, semua siswa mencatat mind-map di buku tulisnya. Ada yang berbeda dari biasanya. Mereka menulis dengan posisi landscape dan memulai tulisan dari tengah. Saya menentang siswa agar nanti malam menyalin kembali catatan ke dalam kertas gambar berukuran A3 dengan diberi warna warni. Setelah selesai mencatat, saya bertanya, “apakah kalian enang mencatat dengan cara seperti ini? Capai nggak?”
“asyikkk, gak capai….!” Jawab mereka serempak.
Lalu saya minta mereka membuka kembali kertas yang berisi nama guru yang tidak disukai, yang telah mereka tulis di awal belajar. Kembali saya meletupkan emosi mereka.
“Coba adik-adik, bayangkan wajah guru yang kalian tulis. Ada tanda Tanya di sana. Apa maksudnya? Tidak lain adalah pertanyaan yang harus kalian jawab dengan hati kecil kalian. Apa benar mereka cerewet? Apa benar mereka galak? Sehingga tidak kalian sukai atau bahkan membencinya. Apa benar? Coba jawab dengan nurani kalian. Kalian tahu, merekalah yang akan menyelamatkan dunia akherat kalian. Merekalah yang berusaha agar cita-cita kalian terwujud. Ada yang ingin menjadi pemain bola, dokter, pelaut dan bahkan pembalap. Apa kalian sadar, dari guru yang namanya kalian tulis itulah keinginan kalian akan mulai terwujud? Lalu, apa pantas kalian sekarang mengatakan mereka tidak menyenangkan? Ayo, yang merasa masih punya hati, silahkan berdiri, bangkit, temui guru yang kalian tulis tersebut. Ucapkan permohonan maaf yang benar-benar dari hati. Kapan lagi kalau tidak sekarang? Ayo, berdiri, cari guru kalian!”
Selanjutnya, ada iar mata yang mengucur antara guru dan siswa. Alhamdulillah., saya ucapka ke hadirat Alloh SWT. Saya berhasil menutup empat puluh menit pembelajaran dengan cantik. Siswa memahami pengertian tentang sikap menghormati, mengapa guru harus dihormati, dan bagaimana cara siswa menghormati guru dalam kehidupan sehari-hari.


Dikutip dari : Gurunya Manusia, Munif Chatib, hal 139-143